Sabtu, 17 Maret 2012

Definisi dan Pembagian Ilmu

Description: http://ustadzmuslim.com/wp-content/uploads/2010/04/buku.jpg


Bila ada istilah yang mengatakan bahwa buku adalah jendela maka ilmu juga bisa diatikan sebagai penerang dunia. Karena ibarat hidup tanpa ilmu maka kita akan hidup dalam sebuah kegelapan yang tanpa  berujung. Oleh karena itu penting bagi kita untuk selalu mencari dan memperdalam ilmu supaya kita bisa mengikuti perkembangan jaman tanpa dihantui rasa ketakutan karena kedangkalan ilmu yang kita miliki.


Berikut ini adalah pengertian dan definisi ilmu menurut beberapa ahli:

# M. IZUDDIN TAUFIQ
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal usulnya


# THOMAS KUHN
Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak penemuan, bail dalam bentuk penolakan maupun pengembangannya


# Dr. MAURICE BUCAILLE
Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka waktu yang lama maupun sebentar.


# NS. ASMADI
Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali (metode ilmiah)


# POESPOPRODJO
Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang meliputi perkembangan teori dan uji empiris


# MINTO RAHAYU
Ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dan berlaku umum, sedangkan pengetahuan adalah pengalaman yang bersifat pribadi/kelompok dan belum disusun secara sistematis karena belum dicoba dan diuji


# POPPER
ilmu adalah tetap dalam keseluruhan dan hanya mungkin direorganisasi.


# DR. H. M. GADE
Ilmu adalah falsafah. yaitu hasil pemikiran tentang batas-batas kemungkinan pengetahuan manusia


# FRANCIS BACON
Ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan hanya fakta-fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan


# CHARLES SINGER
Ilmu adalah suatu proses yang membuat pengetahuan (science is the process which makes knowledge)



Kata ilmu dalam bahasa Arab  yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.

Ilmu atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (material saja), atau ilmu psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Berkenaan dengan contoh ini, ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari dan bumi, atau ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
1.    Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
2.    Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
3.    Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
4.    Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
 Ilmu dibagi menjadi 3 bidang utama, yaitu Ilmu alam, Ilmu sosial, dan Ilmu budaya (humaniora).

1. Ilmu alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun.
Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably Joint" (Agus. S. 2003: 11)
Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & nonmanusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali "ilmu" sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (biasa disingkat IPA).
Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti.
Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah "ilmu alam" kadang digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini, "ilmu alam" dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik(terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia yang mendasari alam semesta.
Cabang-cabang utama dari ilmu alam adalah:
§  Astronomi
§  Biologi
§  Ekologi
§  Fisika
§  Geologi
§  Geografi fisik berbasis ilmu
§  Ilmu bumi
§  Kimia




2. Ilmu sosial (Inggris:social science) atau ilmu pengetahuan sosial (Inggris:social studies) adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusiadan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif. Istilah ini juga termasuk menggambarkan penelitian dengan cakupan yang luas dalam berbagai lapangan meliputi perilaku dan interaksi manusia pada masa kini dan masa lalu. Berbeda dengan ilmu sosial secara umum, IPS tidak memusatkan diri pada satu topik secara mendalam melainkan memberikan tinjauan yang luas terhadap masyarakat.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial.[1] Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
Karena sifatnya yang berupa penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, di Indonesia IPS dijadikan sebagai mata pelajaran untuk siswa sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah tingkat pertama(SMP/SLTP). Sedangkan untuk tingkat di atasnya, mulai dari sekolah menengah tingkat atas (SMA) dan perguruan tinggi, ilmu sosial dipelajari berdasarkan cabang-cabang dalam ilmu tersebut khususnya jurusan atau fakultas yang memfokuskan diri dalam mempelajari hal tersebut.


Cabang-cabang utama dari ilmu sosial adalah:
§  Antropologi, yang mempelajari manusia pada umumnya, dan khususnya antropologi budaya, yang mempelajari segi kebudayaan masyarakat
§  Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian kekayaan dalam masyarakat
§  Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas permukaan bumi
§  Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah dilembagakan
§  Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial dari bahasa
§  Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter dan moral
§  Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia (termasuk negara)
§  Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses mental
§  Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan dengan umat manusia
§  Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya




3. Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988), adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, humaniora berarti “ilmu pengetahuan (agama, filsafat, sejarah, bahasa, dan sastra, pelbagai cabang seni, dsb) yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia di dunia dan berusaha menafsirkan martabat kepada penghidupan dan eksistensi manusia”. Sedangkan menurut kamus Merriam-Webster, humaniora—yang dalam bahasa Inggris disebut humanities—adalah cabang kajian (sebagaimana filsafat, seni, dan bahasa) yang menyelidiki konsep-konsep dan persoalan-persoalan manusia yang berbeda dengan proses-proses alami (seperti fisika atau kimia) dan hubungan-hubungan sosial (seperti dalam antropologi atau ekonomi). Senada dengan definisi ini, Woodhouse (Mustansyir 211), mengatakan bahwa humanities merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak dibedakan dari ilmu-ilmu sosial. Kelompok kajian humanities meliputi bahasa, sastra, seni, filsafat, dan sejarah.
§       Dari pengertian-pengertian di atas, kita bisa menyimpulkan setidaknya dua hal. Yang pertama, humaniora adalah ilmu yang mengkaji hakikat manusia beserta persoalan-persoalan manusiawi mereka dengan tujuan untuk meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Karena humaniora mempelajari tentang manusia, oleh karena itu, objek material ilmu ini sebenarnya adalah manusia itu sendiri.
§       Yang kedua, humaniora terdiri dari cabang-cabang ilmu lain, diantaranya bahasa, sastra, filsafat, sejarah, dan seni. Ilmu-ilmu ini pada dasarnya sama-sama mengkaji tentang manusia, namun dengan cara yang berbeda-beda[4]. Sebagai contoh, bahasa mengkaji manusia melalui perilaku komunikasi verbal yang dilakukannya. Sastra mengkaji manusia melalui karyanya yang berupa tulisan-tulisan bernilai tinggi yang mencerminkan kedalaman berfikir dan olah rasa. Filsafat mengkaji manusia melalui pemikiran-pemikiran bijaksananya yang selalu ingin menemukan hakikat kebenaran dan eksistensinya. Sejarah mengkaji manusia dengan menyelidiki segala hal yang ditiggalkannya yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi, kehidupan, ataupun peristiwa yang terjadi di masa lalu. Sedangkan seni mengkaji manusia dengan melihat karya-karyanya yang artistik dan bernilai estetika tinggi yang merupakan perwujudan dari implementasi yang mendalam terhadap potensi kemanusiaan yang berupa cipta, rasa, karya, dan karsa.
§       Humaniora merupakan rumpun keilmuan yang memiliki karakteristik yang khas. Jerome Kagan (4) memformulasikan karakteristik humaniora sebagai sebuah kajian yang tertarik memahami reaksi manusia pada kejadian-kejadian yang dialami dan makna-makna yang disematkannya pada pengalaman-pengalaman yang dialaminya sebagai sebuah fungsi dari budaya, era historis, dan sejarah hidup. Lebih jauh, dalam artikelnya pada jurnal filsafat Wisdom, Rizal Mustansyir (212) mengatakan:
§      Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukan pesawat terbang.
§        Lalu, seberapa pentingkah kajian ilmu humaniora terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni? Jawabnya, tentu saja penting! Humaniora, menurut saya, merupakan ruh dari semua ilmu. Betapa tidak, humaniora merupakan satu-satunya rumpun ilmu yang mempelajari manusia dengan tujuan untuk memahami hakekat manusia itu sendiri agar bisa lebih memanusiakan manusia. Sedangkan di lain pihak, rumpun ilmu lain hanyalah bertujuan untuk memudahkan kehidupan manusia di dunia melalui kajian-kajian dan penemuan-penemuan. Dengan kata lain, sains dan ilmu sosial memudahkan kehidupan manusia, sedangkan makna serta hakikat tentang manusia dan kehidupan itu sendiri dijelaskan oleh humaniora. Tentunya, manusia tidak akan pernah bisa mengembangkan segala macam potensinya (termasuk di bidang sains dan ilmu sosial) jika tidak pernah memahami tentang hakikat dan keberadaanya.
§          Salah satu alasan kenapa humaniora saya sebut sebagi “ruh” ilmu lain, karena humaniora memberikan arah dan makna bagi keberadaan dan perkembangan ilmu lain. Sebagai contoh, dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, humaniora memberikan pandangannya melalui kajian-kajian etika ketika teknologi kloning baru muncul dan populer. Apakah logis, jika kloning diperbolehkan untuk diterapkan kepada manusia secara luas sehingga nilai-nilai dasar yang menjadikan seseorang disebut manusia menjadi kabur? Apakah etis, manusia bertindak seolah-olah menjadi Tuhan dengan sewenang-wenang membuat makhluk baru tanpa melalui proses reproduksi? Apakah berperikemanusiaan jika manusia membuat makhluk baru dan membiarkannya mati sebelum waktunya karena tidak sempurnya teknologi rekayasa kloning[5]?
§         Sebuah contoh lagi adalah dalam bidang teknologi komunikasi. Sebagaimana kita ketahui, teknologi informasi dan komunikasi manusia saat ini sudah sedemikian maju, sehingga seseorang tidak perlu bertemu muka langsung untuk mengadakan pertemuan atau rapat. Semuanya bisa dilakukan jarak jauh dan tanpa kabel. Akan tetapi, tiba-tiba saja kita secara tidak sadar telah melakukan sesuatu yang sangat besar dalam kehidupan kita melalui teknologi tersebut. Di satu sisi teknologi tersebut memang mendekatkan kita dari yang jauh. Namun di sisi lain, tanpa kita sadari teknologi itu juga menjauhkan kita dari orang yang sudah dekat secara spasial dengan kita. Kita selalu sibuk membalas tweet[6] dari orang-orang yang terkadang mukanya saja tidak kita ketahui, sedangkan di sebelah kita duduk seorang sahabat baik—yang juga sedang melakukan hal yang sama—yang selalu membantu kita disaat kita membutuhkan bantuan. Tiba-tiba saja kita kurang berinteraksi secara fisik bahkan dengan orang yang sangat dekat dengan kita.
§  Humaniora melihat fenomena tersebut dan berusaha mengingatkan kita melalui kajian-kajiannya bahwa kita terancam kehilangan predikat kita sebagai makhluk sosial, makhluk mulia ciptaan Tuhan yang senantiasa saling membantu satu sama lain melalui interaksi fisik. Kajian humaniora memberikan arah bagi teknologi tersebut agar digunakan sesuai dengan tujuan kebaikan manusia dan memanusiakan manusia. Humaniora juga memberikan makna bagi kehidupan kita dengan cara mengingatkan kita untuk selalu menjaga nilai kemanusiaan kita sebagai manusia yang sekaligus membuat kita berbeda dan lebih mulia dari pada makhluk lain.
§        Di sisi lain, humaniora ternyata juga memiliki peran lain yang sangat vital dalam teknologi informasi dan komunikasi. Peran bahasa dalam komunikasi dan transfer informasi merupakan sesuatu yang tak dapat diragukan perannya. Tak bisa dibayangkan bagaimanakah sebuah informasi disampaikan tanpa menggunakan bahasa (Mustansyir 213), atau bagaimana komunikasi verbal bisa berjalan tanpa menggunakan bahasa.
§       Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sekali lagi humaniora berperan memberikan arah dan hakikat tujuan pengembangan tersebut. Humaniora senantiasa menjaga agar segala perkembangan ilmu pengetahuan selalu didasarkan atas kepentingan kebaikan umat manusia. Humaniora juga selalu menjaga agar dalam perkembangan tersebut manusia tetap menjadi subjek yang mengendalikan ilmu pengetahuan demi terciptanya kehidupan manusia yang lebih baik. Tak akan bisa dibayangkan bagaimana jadinya nanti jika teknologi robotik dan kloning menjadi sedemikian maju, sehingga tercipta manusia-manusia cyborg[7] atau robot-robot dengan kecerdasan buatan yang menyamai manusia, sehingga tiba-tiba dunia didominasi oleh bukan manusia lagi, melainkan oleh mesin-mesin ciptaan manusia. Manusia tiba-tiba menjadi tersingkir dari dunianya dan menjadi subordinat terhadap ciptaannya sendiri. Humaniora mengajak kita merenungkan hal ini, salah satunya, dengan cara memberikan suatu gambaran fiksi hal tersebut dalam bentuk film-film seperti trilogi Terminator dan trilogi Matrix.
§        Dalam perkembangan bidang seni, pentingnya humaniora sudah tidak disangsikan lagi, karena pada dasarnya seni juga termasuk ke dalam rumpun keilmuan humaniora, sebagaimana tersinggung dalam pengertian humaniora di atas. Seni selalu berasal dari manusia dan keindahannya ditujukan untuk dinikmati indera manusia. Hal ini sangat sejalan dengan kajian humaniora yang selalu menjadikan manusia sebagai subjek. Dengan humaniora, seni menjadi lebih kaya, indah, dan bermakna karena selalu berpegang pada nilai-nilai kehidupan manusia. Etika dalam humaniora juga menjaga agar seni tidak membuat kehidupan manusia hancur oleh perpecahan dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.
§       Beberapa tahun yang lalu kita melihat dan mendengar bagaimana seorang berkebangsaan Denmark membuat karikatur-karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan kemarahan dan protes yang luar biasa dari umat Islam di seluruh dunia. Hingga banyak orang tiba-tiba saja menjadi terpanggil untuk melakukan jihad karena merasa benar-benar tersinggung oleh kejadian tersebut. Peristiwa tersebut mulai mereda ketika banyak sekali pihak di luar umat muslim yang ternyata juga memandang hal tersebut sebagai suatu yang tidak sepatutnya dan tidak beretika. Tidak akan bisa dibayangkan apa yang mungkin bisa terjadi jika dalam seni tidak ada unsur etika yang dilibatkan. Karikatur-karikatur semacam itu bisa saja dianggap sebagai sebuah karya seni, tanpa menghiraukan bahwa ada pihak yang berkeberatan dan rela mati untuk membela apa yang dipercayainya tersebut. Pada akhirnya hal tersebut bisa mengakibatkan perpecahan dan peperangan yang nilai dampaknya akan jauh lebih besar dari pada nilai seni karikatur itu sendiri.
§       Perkembangan konsep humaniora modern sebenarnya berawal dari jaman Yunani Kuno. Konsep tersebut berasal daripaideia Yunani Klasik, yang merupakan suatu program pendidikan umum yang berasal dari kaum sofis pada pertengahan abad ke-5 SM, yang menyiapkan para pria muda untuk menjadi warganegara aktif dalam polis. Tidak hanya itu, konsep humaniora juga berasal dari terminologi Cicero humanitas (yang berarti secara harfiah “sifat manusia”), yang merupakan program pelatihan bagi calon orator yang pertama kali ditetapkan di De Oratore pada tahun 55 SM. Pada perkembangan selanjutnya, konsep-konsep tersebut diadopsi dan diadaptasi oleh berbagai pemikir, mulai dari St. Augustine, para pemikir abad pertengahan, hingga para pemikir abad 19 seperti Wilhelm Dilthey dan Heinrich Rickert (“humanities”, Encyclopædia Britannica 2007). Pemikiran-pemikiran para filsuf tersebut telah membuat konsep sederhana paideia dan humanitas berkembang hingga menjadi konsep humaniora pada saat ini. Bahkan, di era modern seperti sekarang ini, konsep humaniora juga terus berkembang dan dipengaruhi oleh pikiran-pikiran kritis modern. Seiring dengan munculnya pemikiran posmodernisme yang merupakan perwujudan dari ketidakpuasan terhadap proyek-proyek modernitas, humaniora juga turut berkembang menjadi sebuah kajian yang berusaha mengkaji hal-hal yang melampui batas-batas modernitas.
§       Secara umum, konsep dasar posmodern adalah menolak kemapanan-kemapanan yang ditawarkan oleh modernitas. Listiyono Santoso (dalam Santoso dkk. 320-322) mengatakan bahwa di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodern justru (di)tampil(kan) dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern. Munculnya postmodern merupakan suatu sinyal atas hadirnya sejumlah pemikir, filsuf, dan intelektual yang berusaha melakukan dekonstruksi atas basis dasar pengetahuan modern. Artinya, nilai yang ditawarkan oleh postmodern adalah betapa gagasan –gagasan dasar, seperti filsafat, rasionalitas, dan epistemologi, dipertanyakan lagi secara radikal. Dengan demikian, terminologi postmodernisme lebih berkaitan dengan suatu sikap kritis atas segala bentuk kemapanan (status quo) yang diciptakan oleh proyek modernisasi.
§      Menurut Lyotard, postmodern merupakan suatu periode dimana segala sesuatu di-deligitimasi-kan (Sugiharto dalam Santoso 324). Postmodern mendeligitimasi sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonis dan pro status quo agar tidak memberangus munculnya kebenaran-kebenaran yang bukan sekadar kebenaran tunggal. Ketika posisi pengetahuan dilegitimasikan oleh narasi-narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, dan sebagainya, maka kini narasi-narasi besar tersebut telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar (metanarasi) sebelumnya—seperti religi, dialektika ruh, subjektivitas, dan sebagainya—yang menjadi patokan filsafat modern, yaitu mengalami kehilangan kekuatannya dan menjadi sulit dipercaya (Santoso 324-325). Sederhananya, postmodern menyadari bahwa dalam ranah rasionalitas tidak ada kebenaran yang yang bersifat tunggal dan absolut. Oleh karena itu postmodern menolak kebenaran tunggal dan memperjuangkan adanya berbagai realitas lain yang juga benar.
§        Postmodernisme sebagai epistemologi ditandai oleh keragaman argumen. Menurut Lyotard, postmodern berarti mencari ketidakstabilan. Kalau pengetahuan modern mencari kestabilan melalui metodologi, dengan “kebenaran” sebagai titik akhir pencarian, maka pengetahuan postmodern ditandai oleh runtuhnya kebenaran, rasionalitas, dan objektivitas. Prinsip dasarnya bukan benar-salah, tetapi sebagai paralogy atau membiarkan segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif terhadap perbedaan-perbedaan. Tampaknya, semangat dekonstruksi Derrida berpengaruh pada prinsip pengetahuan postmodern untuk selalu melakukan revisi kritis pada setiap bentuk pengetahuan (Santoso 326).
§        Pada kenyataan masa kini, ilmu pengetahuan (sains) telah berkembang dengan sangat luar biasa sehingga menjadi sebuah rumpun ilmu yang sangat rumit karena telah menjadi sangat terspesialisasi. Sebagai contoh, ilmu kedokteran saat ini telah menjadi ilmu yang memiliki kajian spesialis yang sangat banyak, mulai dari organ bagian kepala yang terdiri spesialis THT-KL[8], spesialis mata, dst; organ-organ dalam manusia yang terdiri dari hematologi-onkologi, hepatologi, kardiovaskular, dst; spesialis ilmu kesehatan anak; sub-spesialis THT-KL; dan masih banyak lagi (“Dokter Spesialis”, http://id.wikipedia.org). Sebagai layaknya ilmu eksak, ilmu-ilmu spesialis di atas selalu mengkaji setiap objek kajiannya berdasarkan kenyataan-kenyataan empiris, setiap fenomena non-empiris, yang biasanya dikaji oleh oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tidak akan masuk pada pertimbangan pengkajian.
§        Akan tetapi, seiring munculnya semangat posmodern dewasa ini, paradigma ilmu-ilmu sains sepertinya juga turut terpengaruhi dan mulai berubah. Paradigma posmodern, yang tidak pernah menerima sebuah kemapanan dalam kebenaran tunggal dan selalu melihat kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain, sedikit banyak telah mempengaruhi sikap dan paradigma ilmu-ilmu sains terhadap fenomena non-empiris. Ilmu-ilmu sains saat ini mulai melihat objek-objek kajian humaniora dan ilmu-ilmu sosial, yang terkadang non-empiris, sebagai objek potensial kajian. Hal ini salah satunya ditandai dengan dibukanya program studi (diploma III) pengobatan tradisional (Battra) yang berada di bawah Fakultas Kedokteran di Universitas Airlangga.
§        Dalam sebuah diskusi, seorang teman yang saat ini (2011) sedang dalam proses menyelesaikan pendidikan program doktoral pada bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Airlangga, mengatakan bahwa saat ini terdapat tren kejenuhan kajian pada ilmu-ilmu sains. Saking terspesialisasinya ilmu-ilmu tersebut, para praktisinya mulai merasa “kehabisan” bahan kajian. Di luar negeri, khususnya Australia, para praktisi dan peneliti ilmu kesehatan mulai tertarik dengan hal-hal yang berbau tradisional dan sedikit non empiris. Salah satu fenomena yang terjadi adalah munculnya kajian ethnomedicine. Banyak para peneliti dari Australia yang datang dan ”berpetualang” ke pelosok-pelosok Indonesia untuk mempelajari khasanah pengobatan tradisional suku-suku di Indonesia. Mereka tertarik melihat bagaimana beberapa penyakit diatasi oleh penduduk setempat dengan menggunakan kearifan-kearifan lokal yang mereka miliki. Objek-objek kajian mereka yang dulunya selalu bersifat empiris, pada saat ini menjadi tidak mutlak lagi. Mereka mulai melihat dan mengkaji bagaimana bisa seseorang di suatu komunitas tertentu merasa telah disembuhkan dari sakit kepala sebelah hanya dengan dibacakan mantra tertentu dan disembur air putih.
§        Munculnya posmodernisme dan tren penelitian tersebut tentunya telah memberikan keuntungan bagi cabang-cabang ilmu humaniora dan termasuk juga ilmu-ilmu sosial. Kini, orang-orang mulai melihat humaniora sebagi sebuah ilmu yang sangat berguna bagi perkembangan ilmu-ilmu lain, khususnya sains. Para peneliti ethnomedicine saat ini mulai membuka hasil-hasil kajian humaniora sebagai dasar dan pertimbangan bagi mereka untuk melakukan penelitian dan pengembangan keilmuan. Mereka juga mulai membaca sejarah suatu suku tertentu untuk menyelidiki rahasia keberhasilan suku tersebut dalam mengatasi wabah penyakit mematikan, semisal demam berdarah. Di lain pihak, munculnya posmodernisme juga membuat orang-orang mulai berpikir dan berusaha menjaga kualitas kemanusiaan mereka, dalam hubungannya dengan sesama manusia dan dengan lingkungan sekitar. Banyak orang yang sudah mulai peduli dengan kemajuan teknologi yang tidak hanya memberikan kemudahan bagi manusia saja, namun juga memberikan manfaat bagi lingkungan. Manusia mulai bepikir tentang bagaimana membuat dirinya lebih manusia dengan segala macam kemajuan yang diperoleh, namun di sisi lain berusaha untuk mempertahan eksistensinya di dunia dengan cara menjaga lingkungan tempat hidupnya. Cara-cara berpikir yang sejalan dengan konsep humaniora tersebut tampaknya mulai menjadi tren kehidupan masyarakat saat ini.
§  
§        Humaniora dalam perannya sebagai sebuah ilmu tampaknya mulai diperhitungkan oleh masyarakat luas. Hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya beasiswa untuk mahasiswa humaniora—yang di Amerika lebih dikenal dengan jurusan liberal arts—khususnya untuk yang belajar ke luar negeri. Di lain pihak, banyak cendekiawan yang mulai memahami bahwa humaniora telah memberikan pengaruh dan makna yang sangat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu lain. Hal ini juga tidak terlepas dari munculnya sebuah fenomena paradigma berpikir posmodern yang membawa kembali relasi-relasi kebenaran humaniora yang sempat “terlupakan” oleh dominasi ilmu-ilmu sains selama abad 20.
 Kategori yang tergolong dalam ilmu ini antara lain:
§  Teologi
§  Filsafat
§  Hukum
§  Sejarah
§  Filologi
§  Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian bahasa)
§  Kesusastraan
§  Kesenian
§  Psikologi
§  
§   Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar